Kamu pernah ngerasa kuliah kayak lari maraton tanpa garis akhir?
Tugas numpuk, deadline saling tindih, belum lagi tekanan dari lingkungan dan media sosial. Di tengah padatnya jadwal akademik, banyak mahasiswa Gen Z mengalami apa yang disebut burnout akademik—kelelahan emosional dan mental akibat tekanan kuliah yang berlebihan. Yang lebih mengejutkan, banyak dari mereka yang diam-diam menderita tanpa tahu harus mengadu ke siapa.
Fenomena ini bukan cuma kasuistik, tapi sudah jadi realita sehari-hari di dunia kampus. Mahasiswa yang dulunya semangat kuliah bisa tiba-tiba kehilangan motivasi, merasa kosong, dan terus-menerus kelelahan meski tak sedang beraktivitas berat. Burnout bukan sekadar lelah biasa—ia bisa merusak produktivitas, relasi sosial, bahkan kesehatan fisik.
Banyak Gen Z yang kini menyadari pentingnya keseimbangan antara pencapaian dan kesehatan mental. Mereka tidak lagi mencari kampus hanya dari nama besar, akreditasi, atau program studi populer. Mereka mulai mencari tempat belajar yang menawarkan ruang tumbuh secara utuh—baik secara akademis maupun psikologis.
Kampus ideal bagi Gen Z bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi juga ekosistem yang mendukung proses pendewasaan diri. Kampus yang memperhatikan kesehatan mental memiliki kebijakan yang lebih fleksibel terhadap dinamika mahasiswa, seperti waktu pengerjaan tugas, metode pembelajaran yang variatif, dan keberadaan konselor atau psikolog kampus.
Tidak sedikit mahasiswa yang akhirnya terpaksa cuti kuliah karena terlalu lelah secara mental. Sayangnya, masih banyak institusi pendidikan yang belum sadar bahwa prestasi akademik seharusnya tidak dibangun di atas kecemasan dan ketakutan. Mahasiswa tidak boleh hanya dinilai dari angka IPK, tetapi juga bagaimana mereka bertumbuh sebagai individu.
Budaya kompetitif di kampus juga sering menjadi pemicu utama burnout. Mahasiswa merasa harus selalu terlihat aktif, produktif, dan unggul, padahal kenyataannya tidak semua orang punya kondisi dan kecepatan yang sama dalam belajar. Sistem pendidikan yang terlalu fokus pada hasil justru membuat banyak mahasiswa kehilangan makna belajar itu sendiri.
Kesehatan mental harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan tinggi. Sebagaimana pentingnya teori dan praktik keilmuan, pengelolaan stres, kemampuan menyelesaikan konflik internal, serta kesadaran emosional juga layak diajarkan dan difasilitasi. Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya menjadi cerdas secara akademik, tetapi juga tahan banting secara emosional.
Fasilitas seperti ruang konseling, program mentorship, serta komunitas pendukung seharusnya menjadi standar di kampus mana pun. Karena faktanya, mahasiswa yang merasa aman secara psikologis akan jauh lebih berani mengeksplorasi kemampuan dirinya, lebih terbuka terhadap tantangan, dan lebih siap menghadapi masa depan.
Pendidikan tidak hanya soal mengisi kepala, tetapi juga merawat hati. Kesehatan mental bukan isu sepele yang bisa diabaikan. Ini adalah faktor utama dalam membentuk generasi muda yang kuat, bijaksana, dan mampu membuat keputusan besar dalam hidupnya. Kuliah seharusnya menjadi perjalanan menyenangkan yang membuka jendela dunia, bukan beban yang menguncinya.
Kini, saatnya kita sebagai masyarakat, pendidik, dan pengambil kebijakan sadar: kampus ramah kesehatan mental bukanlah pilihan mewah, tapi kebutuhan utama. Masa depan Indonesia ada di tangan mahasiswa yang tidak hanya pintar, tapi juga utuh sebagai manusia.
Posting Komentar
0Komentar