“Menjadi World Class University pada tahun sekian…”
Kalimat ini sering banget kita dengar di visi-misi kampus-kampus besar di Indonesia. Mulai dari kampus negeri favorit sampai kampus swasta ternama, semuanya berlomba-lomba mencantumkan istilah World Class University (WCU). Tapi pertanyaannya sekarang:
Apakah mimpi jadi WCU itu realistis? Atau cuma retorika belaka?
Apa Sih World Class University Itu?
Sebelum kita bahas lebih jauh, yuk kita samakan dulu pemahaman.
World Class University bukan istilah resmi, tapi lebih ke "label prestise" untuk kampus-kampus yang berhasil menembus ranking global—seperti QS World University Rankings, Times Higher Education (THE), atau Academic Ranking of World Universities (ARWU/Shanghai Ranking).
Biasanya, indikator yang digunakan antara lain:
- Jumlah publikasi ilmiah bereputasi internasional
- Kualitas lulusan di mata industri
- Jumlah sitasi dari riset dosen
- Proporsi mahasiswa dan dosen asing
- Kolaborasi internasional
- Reputasi akademik global
Jadi, WCU bukan cuma soal gedung megah dan jumlah mahasiswa, tapi lebih pada daya saing akademik dan riset di tingkat dunia.
Kenapa Banyak Kampus Indonesia Mengejar WCU?
Jawabannya simpel: prestise.
Jadi WCU itu kayak dapat "verified badge" buat kampus. Bisa menaikkan branding, menarik mahasiswa asing, mempermudah kolaborasi internasional, dan meningkatkan kepercayaan dari pemerintah maupun swasta.
Pemerintah juga ikut mendorong hal ini. Bahkan sejak era awal 2000-an, Kementerian Pendidikan (dulu namanya Dikti) pernah punya program khusus untuk mendorong kampus-kampus tertentu jadi WCU, seperti UI, ITB, dan UGM. Anggarannya besar, targetnya ambisius.
Sayangnya, sudah lebih dari 20 tahun berjalan, dan kita belum benar-benar punya kampus yang stabil di posisi atas ranking dunia. Ada yang sempat naik, tapi turun lagi. Ada juga yang bertahan di 300–500 besar dunia, tapi belum bisa masuk top 100 atau 200 besar dunia.
Apa Realitanya di Lapangan?
Nah, di sinilah mulai muncul pertanyaan: apakah mimpi WCU realistis?
1. Masalah Dana dan Infrastruktur
Kampus-kampus top dunia seperti Harvard, Oxford, MIT, punya dana abadi (endowment) yang besar banget—puluhan hingga ratusan triliun rupiah. Sementara kampus di Indonesia masih bergantung pada dana dari pemerintah dan UKT mahasiswa.
Mau riset berkualitas internasional? Butuh laboratorium canggih.
Mau kolaborasi internasional? Butuh dana mobilitas.
Tanpa dukungan finansial yang kuat, kampus Indonesia kesulitan bersaing.
2. Publikasi Jadi Beban, Bukan Budaya
Salah satu indikator penting WCU adalah publikasi internasional. Tapi karena dikejar-kejar target, publikasi kadang jadi formalitas, bukan bagian dari budaya ilmiah. Dosen dibebani target yang tinggi, mahasiswa S2 dan S3 dipaksa submit jurnal, tapi kadang tanpa pendampingan yang cukup.
Akhirnya, muncul kasus "predatory journal", plagiarisme, atau riset asal jadi.
Alih-alih naik kelas, kita justru terjebak dalam jebakan kuantitas.
3. Internasionalisasi yang Setengah-Setengah
Banyak kampus mulai bikin program internasional: kuliah pakai Bahasa Inggris, exchange program, atau kerja sama dengan universitas luar. Tapi sayangnya, sebagian masih setengah hati. Kadang dosennya belum siap ngajar full English, atau kurikulum belum benar-benar global.
Belum lagi urusan birokrasi yang bikin mahasiswa asing ogah daftar ke sini.
4. Kesenjangan Antar Kampus
Fakta pahit: tidak semua kampus punya peluang yang sama.
Kampus besar di Jawa punya akses lebih besar terhadap anggaran, SDM unggul, dan jejaring internasional. Sementara kampus di daerah tertinggal harus berjuang mati-matian hanya untuk akreditasi nasional saja.
Mengejar WCU dalam situasi seperti ini kadang terasa eksklusif—hanya bisa dinikmati kampus “elit”.
Apakah Berarti Harus Menyerah?
Nggak juga. Mimpi tetap penting. Tapi harus realistis dan kontekstual.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan kampus Indonesia untuk tetap relevan secara global, tanpa harus mati-matian mengejar ranking WCU:
1. Bangun Keunggulan Spesifik (Niche Excellence)
Contohnya: STEI SEBI sebagai kampus ekonomi syariah bisa jadi rujukan global dalam riset dan pendidikan keuangan Islam. Kampus pertanian bisa fokus pada inovasi agroteknologi tropis.
Nggak semua kampus harus jadi MIT atau Oxford. Tapi semua kampus bisa jadi terbaik di bidangnya masing-masing.
2. Perkuat Ekosistem Riset dan Kolaborasi
Bukan cuma soal jumlah publikasi, tapi juga kualitasnya. Bangun budaya riset sejak mahasiswa. Buka akses untuk kolaborasi antar kampus dalam dan luar negeri. Dorong publikasi yang berdampak, bukan cuma yang "terindeks".
3. Pikirkan Dampak Sosial, Bukan Cuma Ranking
Kampus kelas dunia sejati bukan hanya yang masuk ranking tinggi, tapi yang punya dampak nyata bagi masyarakat. Riset yang menyelesaikan masalah lokal, inovasi yang membantu UMKM, program pengabdian yang menyentuh komunitas.
Penutup: Mimpi yang Harus Dibumi
Menjadi World Class University adalah mimpi besar. Tapi bukan berarti semua harus ditelan mentah-mentah. Ranking penting, tapi bukan segalanya.
Yang lebih penting: kampus Indonesia harus relevan, berdampak, dan adaptif.
Bukan sekadar mengejar status global, tapi juga melayani kebutuhan nasional.
Untuk kita para mahasiswa Gen Z, penting banget untuk kritis melihat arah kebijakan kampus. Kita nggak bisa pasif. Kita harus aktif terlibat dalam menciptakan kampus yang benar-benar “kelas dunia”—bukan karena label, tapi karena kualitas dan manfaatnya.
Kalau kamu punya pendapat atau pengalaman soal ini, boleh banget share di kolom komentar. Apakah kampusmu juga punya ambisi jadi WCU? Gimana menurut kamu, realistis nggak?
Posting Komentar
0Komentar