Bayangin gini: kampus A dapat dana riset miliaran, punya gedung ber-AC, fasilitas modern, kolaborasi internasional, dan rutin tampil di peringkat global. Sementara kampus B—yang hanya berjarak 50 km dari sana—masih struggling cari dosen tetap, jaringan internetnya lambat, dan ruang kelasnya bocor saat hujan.
Satu mengejar gelar World Class University (WCU), satu lagi bahkan belum tentu bisa masuk akreditasi unggul.
Pertanyaannya: apakah kejar-kejaran jadi WCU malah memperlebar jurang antar kampus di Indonesia?
WCU: Mimpi Elit yang Butuh Modal Besar
World Class University bukan sekadar label, tapi status yang membutuhkan investasi besar-besaran.
Indikatornya jelas: jumlah publikasi internasional, kolaborasi global, jumlah mahasiswa dan dosen asing, hingga reputasi akademik. Semua itu butuh uang, SDM unggulan, dan infrastruktur kelas dunia.
Jadi wajar, hanya kampus-kampus besar—biasanya PTN Badan Hukum (PTNBH) seperti UI, UGM, ITB, IPB, ITS—yang punya amunisi lengkap untuk masuk gelanggang ini. Tapi, bagaimana dengan kampus lain yang tidak punya status “unggulan”, apalagi dana riset yang cukup?
Kesenjangan yang Makin Nyata
Saat kampus-kampus “elit” sibuk mengejar ranking QS dan THE, banyak perguruan tinggi lain di Indonesia masih bergelut dengan persoalan mendasar:
- Kekurangan dosen tetap dan doktor
- Minim fasilitas laboratorium
- Keterbatasan dana operasional
- Akses mahasiswa terhadap internet dan bahan ajar digital yang terbatas
- Rasio dosen:mahasiswa yang jauh dari ideal
Sebuah laporan Kemendikbudristek pernah menyebut, dari lebih dari 4.000 perguruan tinggi di Indonesia, hanya sekitar 15% yang punya kapasitas riset signifikan. Artinya, mayoritas masih berkutat pada pendidikan dan pengajaran dasar.
Bayangkan: jika yang 15% dipacu terus jadi WCU, dan 85% sisanya jalan di tempat, apa yang akan terjadi dalam 10–20 tahun ke depan?
Efek Domino: Apa yang Bisa Terjadi?
1. Kampus Elit Makin Elit
Dengan branding WCU, kampus besar
jadi magnet bagi mahasiswa terbaik, dosen internasional, dan dana hibah. Mahasiswa
berebut masuk, lulusan makin dicari industri, dan mereka makin unggul di semua
lini.
Nggak salah, tapi ini seperti bola salju yang terus menggelinding—menjadi besar
dengan sendirinya.
2. Kampus Pinggiran Tertinggal
Kampus di luar Jawa, atau yang masih berstatus swasta kecil, makin kesulitan bersaing. Tanpa dukungan tambahan, mereka makin sulit meningkatkan mutu. Akibatnya, persepsi publik pun ikut turun. Mahasiswa enggan mendaftar, dan siklusnya berulang.
3. Ketimpangan Akses Pendidikan Berkualitas
Di satu sisi, kita bicara tentang keadilan sosial dan pemerataan. Tapi di sisi lain, sistem pendidikan tinggi kita secara tidak langsung menciptakan kelas sosial baru dalam dunia kampus—antara “kampus internasional” dan “kampus lokal”.
Bagi Gen Z yang punya cita-cita tinggi tapi berasal dari daerah, kondisi ini bisa sangat membatasi pilihan dan potensi.
Apa yang Harus Diperbaiki?
Kita nggak bisa menyalahkan kampus-kampus besar karena mereka memang berhak tumbuh. Tapi negara dan pemangku kebijakan perlu menjaga keseimbangan, agar mimpi WCU tidak menciptakan elitisme baru dalam dunia pendidikan.
1. Skema Pendanaan Berbasis Pemerataan
Pemerintah perlu merancang skema insentif yang tidak hanya fokus pada performa tertinggi, tapi juga pada potensi tumbuh. Kampus di daerah bisa diberikan dana riset pendampingan, pelatihan dosen, dan infrastruktur minimal agar bisa naik kelas.
Misalnya: matching fund untuk kolaborasi kampus unggulan dengan kampus berkembang. Jadi, pertumbuhan satu kampus bisa ikut mendorong kemajuan kampus lainnya.
2. Afirmasi untuk Kampus Daerah
Buat program afirmasi khusus untuk kampus di luar pulau Jawa, kampus vokasi, dan kampus swasta non-elit. Bukan hanya bantuan uang, tapi juga dalam bentuk mentorship, kolaborasi penelitian, dan pertukaran dosen-mahasiswa.
Kalau ini konsisten dilakukan, gap antar kampus bisa mengecil perlahan.
3. Redefinisi “Kelas Dunia”
Mungkin sudah saatnya kita
mendefinisikan ulang apa itu kampus kelas dunia.
Apakah harus semua kampus Indonesia masuk 100 besar dunia? Tidak.
Yang lebih penting: apakah kampus tersebut relevan secara lokal, dan mampu
memberikan dampak global dari keunikan lokalnya?
Contohnya: kampus yang fokus pada solusi pertanian tropis, kampus ekonomi syariah, atau kampus teknik kelautan di daerah pesisir. Mereka tidak harus jadi Oxford, tapi bisa jadi Oxford-nya Indonesia di bidang masing-masing.
Peran Mahasiswa Gen Z: Bukan Sekadar Penonton
Sebagai mahasiswa atau calon mahasiswa, kita bukan cuma penonton dari drama besar WCU vs kampus tertinggal ini.
Kita punya peran:
- Kritis terhadap arah kebijakan kampus
Jangan mudah terbuai jargon internasionalisasi kalau ternyata mahasiswa kesulitan mengakses dosen dan ruang belajar layak. - Dukung kolaborasi antar kampus
Banyak komunitas dan organisasi mahasiswa yang bisa bikin program bersama lintas kampus. Ini bisa memperluas jaringan dan memperkecil kesenjangan informasi antar mahasiswa. - Angkat potensi kampus sendiri
Apapun kampusmu, kamu bisa bikin karya, konten, dan inovasi yang menunjukkan bahwa kualitas bukan soal ranking, tapi passion dan aksi nyata.
Mimpi Harus Disertai Arah
Mengejar World Class University bukan hal yang salah. Tapi mimpi besar tanpa peta jalan yang adil hanya akan melahirkan kesenjangan yang makin dalam.
Kalau semua energi hanya tercurah ke segelintir kampus unggulan, maka wajah pendidikan tinggi Indonesia akan timpang. Di satu sisi bersinar di ranking global, di sisi lain tertinggal di pelosok negeri.
Saatnya kita berhenti menatap ke langit sendirian. Ajak kampus lain menapak bersama. Karena dunia pendidikan yang sehat adalah dunia yang tumbuh bersama, bukan meninggalkan sebagian.
Posting Komentar
0Komentar