Kata siapa sekolah tinggi tak bisa bermimpi besar? Di tengah gegap gempita kampus-kampus negeri elite berlomba menuju status World Class University (WCU), ada banyak sekolah tinggi di sudut-sudut negeri ini yang diam-diam menyalakan asa. Mereka bukan kampus dengan gedung pencakar langit, bukan pula universitas dengan dana raksasa dari negara. Tapi mereka punya satu hal yang sama pentingnya: semangat untuk tumbuh.
Namun, pertanyaannya—dan ini yang seringkali muncul dengan getir—mungkinkah sekolah tinggi benar-benar menjadi World Class University? Ataukah semua ini hanyalah mimpi di siang bolong yang perlahan pudar, tergilas oleh realita?
Mimpi yang Terbentur Kenyataan Struktural
Status “sekolah tinggi” dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia membawa serta batasan-batasan tertentu. Tidak seperti universitas, sekolah tinggi umumnya fokus pada satu rumpun keilmuan saja, misalnya ekonomi, teknologi, kesehatan, atau keguruan. Ini tentu menjadi tantangan besar ketika berbicara soal WCU, karena indikator pemeringkatan global biasanya menilai dari keberagaman fakultas, kontribusi lintas disiplin ilmu, dan luasnya dampak akademik.
Lebih dari itu, banyak sekolah tinggi yang belum memiliki akses dana riset yang memadai, jumlah dosen bergelar doktor yang cukup, apalagi jejaring internasional yang luas. Infrastruktur penunjang pun masih terbatas. Dalam kondisi seperti ini, impian menuju WCU seolah jadi puncak gunung es yang indah dipandang, tapi sulit didaki.
Kalau begitu, apakah sekolah tinggi harus menyerah? Tentu tidak. Tapi kita harus jujur: mimpi sebesar WCU harus ditempuh dengan langkah realistis. Bukan hanya dengan optimisme, tapi juga dengan peta jalan yang konkret.
Dari Asa Menuju Arah: Perlu Peta Jalan yang Serius
Sebagian sekolah tinggi sudah mulai menempuh jalannya sendiri. Ada yang menyusun Rencana Induk Pengembangan (RIP) dan Rencana Strategis (Renstra) hingga puluhan tahun ke depan. Visi mereka bukan langsung jadi WCU, tapi menjadi research university dulu, memperkuat kapasitas SDM, meningkatkan mutu kurikulum, dan membangun budaya akademik yang solid. Ini langkah cerdas. Karena WCU bukan tujuan yang bisa diraih dalam semalam—bahkan universitas negeri besar sekalipun butuh waktu puluhan tahun untuk berada di peta global.
Peta jalan menuju WCU bagi sekolah tinggi harus dibangun dari bawah. Dimulai dengan memperbaiki kualitas pembelajaran, membentuk pusat riset yang fokus pada bidang kekhususannya, membangun kolaborasi dengan institusi luar negeri, dan yang paling penting: membudayakan riset sebagai ruh akademik, bukan sekadar syarat administrasi.
Langkah ini mungkin tidak cepat, tapi justru lebih tahan lama. Karena sekolah tinggi punya keunggulan: fokus dan spesialisasi. Kalau itu dioptimalkan, mereka bisa unggul di satu bidang tertentu dan diakui secara global—seperti sekolah bisnis, sekolah teknologi, atau sekolah kesehatan yang berhasil menembus reputasi dunia lewat kepakaran unik mereka.
Realitas Dana dan Daya: Kendala yang Tak Bisa Diabaikan
Tak bisa dimungkiri, dana adalah bahan bakar utama menuju WCU. Tanpa pendanaan riset yang memadai, sulit mengembangkan laboratorium, menerbitkan jurnal bereputasi, atau mengikuti konferensi internasional. Inilah salah satu tembok besar yang mengadang sekolah tinggi: keterbatasan anggaran dari pemerintah dan sulitnya akses pada dana hibah riset.
Di sisi lain, kualitas dan jumlah dosen juga masih menjadi tantangan. Untuk masuk peta WCU, dibutuhkan SDM dengan kualifikasi internasional, publikasi di jurnal bereputasi tinggi, dan kemampuan berkolaborasi lintas negara. Banyak sekolah tinggi masih dalam tahap membangun SDM ini—dosen-dosen muda baru meniti karier, sebagian besar masih studi lanjut, dan atmosfer akademik belum sepenuhnya mendukung budaya riset.
Belum lagi jika kita bicara soal sistem birokrasi. Proses pengajuan hibah yang rumit, pelaporan yang menyita waktu, serta minimnya pelatihan untuk penulisan ilmiah berstandar internasional—semuanya menambah kompleksitas jalan menuju WCU. Dan ini semua bukan hal sepele. Tanpa perbaikan sistemik, impian akan tetap jadi angan-angan.
Mimpi Bukan Dihapus, Tapi Ditata Ulang
Jadi, apakah benar asa sekolah tinggi menuju WCU hanyalah mimpi? Jawabannya bergantung pada bagaimana mimpi itu didefinisikan. Jika WCU dipahami sekadar sebagai ranking QS atau THE, mungkin jawabannya: ya, itu masih sangat jauh. Tapi jika WCU dipahami sebagai simbol kualitas riset, reputasi internasional, dan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan global di bidang spesifik—maka tidak ada yang tidak mungkin.
Sekolah tinggi bisa menata ulang mimpinya. Bukan dengan menyerah, tapi dengan mengubah arah. Mereka bisa fokus menjadi center of excellence di bidang tertentu. Misalnya, menjadi rujukan utama dalam ekonomi Islam, teknologi pertanian tropis, atau pendidikan kewirausahaan. Dari spesialisasi itu, lalu membangun reputasi akademik yang kuat, baik nasional maupun internasional.
Kuncinya adalah konsistensi dan kolaborasi. Konsistensi membangun budaya akademik yang kuat, serta kolaborasi dengan pihak luar—baik itu kampus internasional, industri, maupun pemerintah daerah. Dengan pendekatan ini, mimpi menuju pengakuan global bukan lagi mustahil. Ia hanya butuh waktu dan komitmen jangka panjang.
Ketika Mimpi Bertemu Aksi Nyata
Sekolah tinggi di Indonesia punya potensi besar—terutama karena banyak yang lahir dari keresahan sosial dan idealisme perubahan. Mereka lahir bukan untuk mengejar gengsi, tapi untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Maka ketika bicara soal WCU, jangan hanya lihat seberapa tinggi ranking yang ingin dicapai. Tapi lihat seberapa besar dampak nyata yang bisa dihasilkan oleh riset, inovasi, dan dedikasi mereka terhadap bangsa.
Asa menuju WCU memang bukan jalan yang mudah. Tapi ia bukan pula mimpi yang sia-sia. Ia adalah panggilan untuk terus bertumbuh. Dan selama sekolah tinggi di Indonesia mau melangkah dengan rencana, membangun SDM, memperkuat riset, dan menjaga integritas akademik—maka mimpi itu bisa perlahan jadi nyata.
Karena dalam dunia pendidikan, mimpi itu bukan untuk ditertawakan. Tapi untuk diperjuangkan.
Apakah kamu berasal dari sekolah tinggi yang punya mimpi besar? Atau kamu mahasiswa yang ingin berkontribusi dalam riset kampusmu? Ceritakan di kolom komentar, dan mari kita tumbuhkan semangat riset dari kampus manapun kita berasal. Karena perubahan tak harus lahir dari yang besar. Ia cukup dimulai dari yang berani bermimpi.
Posting Komentar
0Komentar