Indonesia ingin punya universitas kelas dunia. Tapi pertanyaannya: apakah kita sudah punya riset yang kelas dunia juga?
Label World Class University (WCU) identik dengan riset unggulan, inovasi terdepan, dan kontribusi ilmiah yang diakui global. Tapi kalau kita bicara realita dunia riset di Indonesia, rasanya masih banyak pekerjaan rumah.
Mulai dari keterbatasan dana, beban kerja dosen, minimnya kolaborasi, hingga budaya riset yang belum sepenuhnya matang. Jadi, sebenarnya apa tantangan riset terbesar kita? Apakah soal dana, daya manusia, atau justru soal daya cipta—kemampuan berpikir kritis dan inovatif?
Bayangkan sebuah negeri dengan ribuan kampus, jutaan mahasiswa, dan ribuan dosen bergelar doktor—tapi produktivitas risetnya masih kalah dari satu universitas kecil di luar negeri. Kenyataan ini bukan fiksi. Di tengah gegap gempita mengejar gelar World Class University (WCU), Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal riset. Mulai dari keterbatasan dana, minimnya SDM riset yang mumpuni, hingga budaya inovasi yang belum terbentuk dengan kuat. Lalu, pertanyaannya: apa sebenarnya hambatan terbesar kita? Apakah dana yang seret, daya manusia yang belum siap, atau daya cipta yang belum terasah?
Infrastruktur Riset: Masih Jadi Mimpi di Banyak Kampus
Salah satu syarat utama agar bisa bersaing di level WCU adalah produktivitas riset. Universitas harus aktif menghasilkan publikasi bereputasi, paten, dan kontribusi keilmuan yang diakui secara internasional. Namun, bagaimana bisa bersaing kalau laboratorium saja terbatas, jurnal nasional pun masih belum terakreditasi banyak, dan akses terhadap data serta teknologi penelitian masih sangat timpang antar kampus?
Sebagian kecil kampus elite di Indonesia memang sudah punya fasilitas riset memadai, terutama yang berstatus PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Tapi, mayoritas kampus lain—baik swasta maupun negeri di luar pulau Jawa—masih berkutat pada infrastruktur dasar: akses internet yang lambat, alat laboratorium yang ketinggalan zaman, hingga keterbatasan bahan riset.
Kondisi ini membuat para dosen dan mahasiswa sulit berinovasi. Banyak yang terpaksa membuat penelitian sekadar untuk memenuhi tugas akhir atau persyaratan jabatan fungsional, bukan untuk menyelesaikan persoalan nyata masyarakat. Riset jadi rutinitas administratif, bukan ruang eksplorasi ilmiah.
Dana Riset: Tidak Hanya Kurang, Tapi Juga Tidak Merata
Kalau bicara riset, dana tentu jadi hal krusial. Pemerintah Indonesia memang sudah meningkatkan anggaran riset dan teknologi dalam beberapa tahun terakhir, terutama lewat BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Namun, peningkatan jumlah belum otomatis berarti efektivitas dalam distribusi.
Banyak peneliti mengeluhkan proses pengajuan hibah riset yang berbelit, birokrasi yang lambat, serta ketimpangan akses antar kampus. Kampus besar dan mapan cenderung lebih mudah mendapat hibah, sementara kampus kecil atau yang belum punya rekam jejak sering kali tersisih dari sistem. Akibatnya, potensi riset dari daerah atau kampus alternatif tidak berkembang maksimal.
Di sisi lain, kolaborasi riset dengan industri juga masih terbatas. Banyak perusahaan di Indonesia yang belum melihat pentingnya hasil penelitian akademik. Padahal di negara-negara maju, industri justru jadi mitra utama kampus dalam pengembangan riset dan teknologi. Kita masih terjebak dalam sekat antara akademisi dan praktisi, yang akhirnya membuat hasil penelitian hanya berakhir di rak perpustakaan.
SDM Riset: Antara Kualifikasi dan Dukungan
Sumber daya manusia juga menjadi tantangan tersendiri. Menjadi dosen dan peneliti di Indonesia bukan perkara mudah. Bukan hanya dituntut untuk mengajar, mereka juga harus meneliti, mengabdi, dan mengurus administrasi yang tak sedikit. Dengan beban kerja yang tinggi dan insentif riset yang belum kompetitif, sulit berharap lahirnya atmosfer riset yang sehat.
Sebagian besar dosen memang sudah bergelar magister, dan jumlah doktor juga terus meningkat. Namun, kapasitas meneliti bukan hanya soal gelar. Dibutuhkan pelatihan metodologi riset yang mendalam, akses literatur internasional yang luas, dan lingkungan akademik yang mendukung eksplorasi ide.
Sayangnya, sistem pendidikan tinggi kita belum sepenuhnya memfasilitasi hal itu. Workshop riset dan pelatihan penulisan jurnal internasional masih minim, terutama di kampus-kampus daerah. Mahasiswa pun jarang diajak terlibat dalam riset dosen secara bermakna. Hasilnya, regenerasi peneliti berjalan lambat.
Sementara itu, untuk meraih predikat WCU, jumlah publikasi per dosen menjadi indikator utama. Maka tak heran jika banyak dosen yang terpaksa “kejar tayang” menulis jurnal, kadang tanpa sempat mendampingi mahasiswa secara optimal. Kualitas pun jadi taruhan.
Budaya Inovasi: Mewujudkan Daya Cipta yang Hidup
Terlepas dari soal dana dan daya manusia, tantangan terbesar mungkin justru soal budaya inovasi itu sendiri. Di banyak kampus, riset masih dianggap tugas akademik, bukan panggilan intelektual. Mahasiswa terbiasa menyelesaikan skripsi dengan topik yang “aman”, dosen cenderung mengulang penelitian sebelumnya dengan sedikit modifikasi, dan jarang ada ruang diskusi yang memantik kreativitas lintas disiplin.
Padahal, daya cipta adalah jiwa dari riset. Negara bisa saja punya dana melimpah dan SDM yang cerdas, tapi tanpa semangat inovasi, riset hanya akan jadi rutinitas tanpa makna. Kita butuh atmosfer yang memberi ruang untuk berpikir liar, mencoba hal baru, dan berani gagal.
Sebagian kampus mulai menjawab tantangan ini dengan mendirikan inkubator bisnis, pusat inovasi mahasiswa, hingga kompetisi riset internal. Tapi skala dan dampaknya masih terbatas. Perlu kolaborasi lebih luas—antara dosen, mahasiswa, industri, pemerintah, bahkan masyarakat—agar riset tidak hanya selesai di meja seminar, tapi benar-benar menjawab kebutuhan nyata bangsa.
Membangun budaya inovasi juga berarti memberi kepercayaan pada generasi muda. Banyak mahasiswa Gen Z yang punya ide cemerlang, semangat membara, dan keberanian mengeksplorasi hal baru. Kampus harus jadi tempat yang menyuburkan semangat itu, bukan malah meredamnya dengan birokrasi atau aturan yang kaku.
Penutup: Mimpi Besar, Tapi Harus Berpijak
Mimpi menjadi World Class University adalah hal yang layak dan sah. Kita butuh universitas-universitas Indonesia yang mampu bersaing di panggung global, menghasilkan riset berkualitas, dan mencetak inovasi yang berdampak luas. Tapi mimpi besar itu harus berpijak pada kenyataan: riset kita belum kuat, SDM kita belum merata, dan budaya inovasi masih dalam proses tumbuh.
Pertanyaan “apakah yang jadi penghambat utama riset kita: dana, daya, atau daya cipta?” tidak bisa dijawab dengan satu pilihan. Karena jawabannya adalah: semuanya saling terhubung. Tanpa dana yang cukup, daya manusia tak bisa berkembang. Tanpa daya manusia yang mumpuni, daya cipta tak akan tumbuh. Dan tanpa daya cipta, dana dan SDM hanya akan jadi angka statistik.
Indonesia butuh ekosistem riset yang sehat, kolaboratif, dan berpihak pada kemajuan jangka panjang. Kampus-kampus harus jadi pusat perubahan, bukan hanya target ranking. Dan mahasiswa, terutama Gen Z, punya peran penting dalam mewujudkan riset yang bukan hanya untuk angka, tapi untuk masa depan.
Kalau kamu punya ide riset yang belum kesampaian karena fasilitas atau sistem yang belum mendukung, share ceritamu di kolom komentar. Siapa tahu dari sana lahir gerakan baru: riset yang tumbuh dari keresahan, bukan dari keharusan.
Posting Komentar
0Komentar