Pernah ngerasa kuliah makin berat, tapi bukan karena ilmunya?
Tugas tambah banyak, publikasi jadi syarat lulus, kurikulum makin padat, dan dosen makin sibuk dengan penelitian yang kadang nggak nyambung sama realita mahasiswa. Kalau iya, bisa jadi kamu sedang “terseret” dalam obsesi kampus mengejar ranking global.
Ya, banyak kampus di Indonesia sedang berlomba jadi World Class University (WCU). Tapi sayangnya, di tengah kejar-kejaran itu, mahasiswa justru sering kali lupa dilibatkan. Apakah mahasiswa jadi prioritas, atau justru korban dari ambisi tak terkendali?
Apa yang Dimaksud Obsesi Ranking Global?
Saat kita bicara soal WCU, otomatis kita bicara tentang ranking dunia: QS, THE (Times Higher Education), dan ARWU (Shanghai Ranking). Untuk masuk ke dalam daftar itu, kampus harus memenuhi berbagai indikator.
Kelihatannya keren, kan? Tapi di balik indikator-indikator itu, kampus bisa terdorong melakukan berbagai “upaya keras” yang berdampak langsung ke dunia nyata mahasiswa.
Ketika Mahasiswa Bukan Lagi Fokus Utama
Idealnya, kampus ada buat mahasiswa. Tapi dalam kejaran ranking, fokus bisa bergeser.
Berikut ini beberapa efek samping dari obsesi kampus terhadap ranking global:
1. Publikasi Dipaksa, Bukan Dibina
Agar skor publikasi naik, banyak kampus “mewajibkan” mahasiswa S1, S2, dan S3 untuk menulis jurnal internasional.
Masalahnya?
Nggak semua mahasiswa siap. Bahkan sebagian besar belum punya pengalaman menulis akademik secara serius. Tapi karena ini jadi syarat kelulusan, banyak yang terpaksa menulis apa saja, bahkan dengan risiko nyasar ke predatory journal.
Alih-alih mencetak peneliti muda berkualitas, kampus justru menciptakan generasi “asal publish”.
2. Kelas Internasional Tapi Isi Lokal
Internasionalisasi jadi indikator penting. Akibatnya, banyak kampus membuat program kuliah berbahasa Inggris atau kelas internasional. Tapi kadang yang terjadi:
- Dosen belum terbiasa mengajar dalam bahasa asing
- Biayanya jauh lebih mahal
- Materi masih sama seperti kelas reguler
- Tidak ada mahasiswa asing yang ikut
Hasilnya? Mahasiswa lokal merasa hanya dijadikan alat pemanis untuk menciptakan kesan “global”.
3. Dosen Jadi Peneliti Full-Time, Mahasiswa Jadi Nomor Dua
Untuk mendongkrak skor penelitian, dosen didorong (atau dipaksa) untuk lebih fokus pada riset dan publikasi.
Padahal, peran dosen tidak hanya sebagai peneliti, tapi juga sebagai pendidik.
Saat dosen sibuk dengan jurnal dan konferensi, mahasiswa sering merasa kehilangan arah, jarang dibimbing, dan kurang mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna.
4. Tugas Menumpuk, Tapi Minim Makna
Demi menunjukkan “aktivitas akademik tinggi”, kurikulum diperbanyak, sistem tugas diperketat, bahkan kadang ada program sertifikasi tambahan yang diwajibkan.
Tapi semua itu kadang cuma jadi beban administratif tanpa koneksi ke dunia nyata. Belajar jadi sibuk, bukan produktif.
Suara Mahasiswa yang Sering Diabaikan
Gen Z dikenal kritis dan vokal, tapi dalam hal ini, suara mahasiswa sering kali kurang terdengar.
Kenapa?
Karena kebijakan besar seperti WCU biasanya terjadi di level pimpinan kampus dan birokrat. Mahasiswa tidak diajak diskusi, hanya diberi konsekuensinya.
Ada mahasiswa yang merasa:
-
Tidak mengerti kenapa tiba-tiba harus publikasi jurnal
-
Bingung kenapa biaya kuliah naik karena program internasional
-
Merasa "terasing" di kampus sendiri karena kebijakan yang terlalu elitis
Kampus lupa bahwa indikator terpenting dari sebuah universitas adalah mahasiswanya sendiri.
Apakah Ranking Itu Sepenuhnya Salah?
Tentu tidak. Ranking global punya manfaat:
- Mendorong kampus lebih inovatif dan terbuka pada dunia luar
- Menarik mahasiswa asing
- Meningkatkan reputasi akademik
- Menstimulus kolaborasi riset internasional
Tapi ranking seharusnya jadi alat ukur, bukan tujuan utama. Kalau mahasiswa jadi korban dalam proses pencapaian itu, maka sistemnya perlu ditinjau ulang.
Jalan Tengah: Reformasi yang Berpihak pada Mahasiswa
Agar kampus bisa tetap berlari di kancah global tanpa melupakan mahasiswa, ada beberapa pendekatan yang bisa dipertimbangkan:
1. Budaya Akademik Dibangun dari Dasar
Daripada memaksa mahasiswa langsung publikasi internasional, kampus bisa mulai dengan membangun budaya literasi dan menulis sejak dini.
Workshop, klub riset, mentoring akademik—semua itu harus jadi bagian dari ekosistem.
Bukan kejar hasil, tapi bangun proses.
2. Internasionalisasi yang Inklusif
Program internasional seharusnya tidak hanya memanjakan segelintir mahasiswa elite.
Kampus bisa bikin program pertukaran murah, kelas kolaboratif daring, atau menghadirkan dosen tamu dari luar negeri yang mudah diakses semua mahasiswa.
3. Libatkan Mahasiswa dalam Pengambilan Keputusan
Mahasiswa bukan objek. Mereka punya suara.
Saat kampus ingin menerapkan kebijakan besar, undang perwakilan mahasiswa untuk ikut berdiskusi. Setiap perubahan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap pengalaman belajar mahasiswa.
4. Evaluasi Bukan Cuma Ranking, Tapi Dampak
Coba tanya:
Apakah peningkatan publikasi membuat mahasiswa lebih paham riset?
Apakah program internasional bikin lulusan lebih siap bersaing global?
Apakah kampus yang naik peringkat otomatis bikin alumninya lebih sukses?
Kalau jawabannya tidak jelas, maka ranking hanya jadi pencitraan.
Penutup: Mahasiswa Bukan Angka, Tapi Aset
Di balik semua ambisi kampus untuk jadi World Class University, ada kenyataan yang nggak boleh dilupakan: mahasiswa bukan angka statistik, tapi aset utama pendidikan.
Ranking global itu penting, tapi mahasiswa adalah pusatnya. Jangan sampai kampus sibuk meraih pengakuan luar, tapi kehilangan kepercayaan dari dalam.
Jadi buat kamu yang sekarang lagi kuliah, atau mau masuk kuliah, jangan sungkan buat bersuara. Jadilah mahasiswa yang sadar akan hak dan peranmu. Dan buat kampus, jangan hanya berlari ke luar—tapi juga menoleh ke dalam, memastikan mahasiswa tetap menjadi fokus utama.
Kalau kamu pernah merasa terdampak oleh kebijakan kampus yang mengejar ranking global, atau punya cerita unik seputar perubahan sistem belajar di kampusmu, tulis aja di kolom komentar.
Karena perubahan sistem pendidikan tinggi harus dimulai dari kesadaran kolektif kita semua—terutama Gen Z yang jadi generasi utamanya.
Posting Komentar
0Komentar